Perjanjian Perjanjian dalam Rangka Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Bahasan Lengkap Mulai Diplomasi Beras, Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville, sampai Konferensi Meja Bundar


Setelah penantian panjang untuk merebut kemerdekaan, akhirnya Indonesia berhasil mengumandangkan proklamasi kemerdekaan pada pukul 10.00 tanggal 17 Agustus 1945. Bung Karno dan Bung Hatta adalah dua tokoh proklamator yang mewakiliki Indonesia kala itu.

Meski telah berhasil memproklamasikan kemerdekaan, bukan berarti perjuangan telah berakhir. Nyatanya, Indonesia masih punya tugas berat untuk mempertahankan kemerdekaannya. Jepang memang telah kalah perang sehingga memungkinkan Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan di masa vacuum of power (kekosongan kekuasaan).

Akan tetapi, penyerahan kekuasaan Jepang kepada Sekutu yang ada di Indonesia memberikan cerita lain. Komando Asia Tenggara (South East Asia Command atau SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mounbatten tidak datang hanya untuk melucuti Jepang yang telah kalah perang.

Lebih dari itu, mereka pun diboncengi oleh NICA, tentara Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia. Belanda yang pernah menjajah Indonesia selama 3,5 abad masih merasa bahwa Indonesia seharusnya kembali di bawah kekuasaannya, dan tidak seharusnya meraih kemerdekaan.

Mereka pun mulai melancarkan berbagai penyerangan dan upaya-upaya lain untuk sedapat mungkin menguasai Indonesia. Namun, tentu saja rakyat Indonesia yang merasa telah merdeka enggan menyerahkan kedaulatan dan kemerdekaannya.

Dengan sekuat tenaga, perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Adapun bentuk-bentuk perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia tersebut, terdiri dari perjuangan fisik dan diplomasi atau perjanjian.

Perjuangan fisik dilakukan dalam bentuk perlawanan bersenjata dan perlawanan. Sementara perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam bentuk diplomasi dilakukan melalui perundingan-perundingan atau perjanjian dalam berbagai forum internasional.

Bentuk-bentuk perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan melalui diplomasi tersebut berupa:


1. Diplomasi Beras Tahun 1946

Diplomasi beras tahun 1946 adalah diplomasi yang dilakukan Indonesia dalam rangka memperoleh simpati internasional. Diplomasi ini terjadi antara Indonesia dan India. Kedua negara ini merasa memiliki persamaan dalam hal nasib dan sejarah.

Yakni, Indonesia dan India sama-sama pernah dijajah dan menentang penjajahan. Oleh karenaya, kedua pun berusaha untuk membantu. Ketika rakyat India mengalami kekurangan bahan makanan, maka pemerintah Indonesia menawarkan bantuan padi sejumlah 500.000 ton.

Hal inilah yang membuatnya disebut sebagai diplomasi beras. Perjanjian bantuan beras Indonesia kepada India ditandatangani pada tanggal 18 Mei 1946. Selain memberikan bantuan, Indonesia juga menerima bantuan obat-obatan dari Indonesia. Jadi, perjanjian ini pun dapat dikatakan sebagai barter.

Dampak yang ditimbulkan dari diplomasi beras ini adalah Indonesia semakin mendapat simpati dunia internasional dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaannya dan mengusir Belanda.

2. Perundingan Linggarjati

Perundingan Linggarjati dilakukan pada tanggal 10 November 1946. Dinamakan perjanjian Linggarjati karena perjanjian ini memang berlangsung di daerah Linggarjati, dekat Cirebon. Di dalam perjanjian linggarjati, Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir sedangkan Belanda diwakili oleh Prof. Scermerhorn.

Pernjanjian Linggarjati dipimpin oleh Lord Killearn, yang merupakan seorang diplomat Inggris. Hasil perundingan linggarjati ini cukup berarti bagi Indonesia. ini karena isi perjanjian Linggarjati dapat memberikan peluang baru bagi Indonesia untuk mendapatkan kedaulatan negerinya sendiri.

Meski pun, memang Belanda pun juga mendapatkan keuntungan dari hasil perundingan Linggarjati ini. Agar lebih jelas, berikut ini adalah beberapa keputusan atau isi Perjanjian Linggarjati :

a)             Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia meliputi Jawa, Madura, dan Sumatra.
b)            Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
c)             Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

Meski isi perjanjian telah diuraikan secara jelas, namun dalam perkembangan selanjutnya, Belanda melanggar ketentuan perundingan tersebut. Pelanggaran Belanda atas perjanjian linggarjati ini dilakukan dengan menjalankan agresi militer Belanda I tanggal 21 Juli 1947.


4. Perundingan Renville

Karena perjanjian Linggarjati dapat dikatakan telah gagal, maka Indonesia kembali berusaha mengupayakan perundingan selanjutnya untuk kembali mempertahankan kemerdekaan, yakni melalui perjanjian Renville.

Disebut sebagai perjanjian Renville karena Perundingan ini dilaksanakan di atas Geladak Kapal Renville milik Amerika Serikat pada tanggal 17 Januari 1948. Dalam perundingan Renville tersebut, pemerintah Indonesia diwakili Perdana Menteri Amir Syarifuddin.

Dari pihak Belanda diwakili oleh Abdul Kadir Widjojoatmodjo. Hasil perjanjian Renville ini memberikan peluang kedaulatan bagi Indonesia, meski posisinya semakin terdesak oleh Belanda. Berikut ini adalah isi perjanjian Renville tersebut :

a)             wilayah Indonesia diakui berdasarkan garis demarkasi (garis van Mook),
b)            Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai Republik Indonesia Serikat terbentuk,
c)             Kedudukan RIS dan Belanda sejajar dalam Uni Indonesia-Belanda,
d)            RI merupakan bagian dari RIS, dan
e)             Pasukan RI yang berada di daerah kantong harus ditarik ke daerah RI.

Meski isi perjanjian Renville ini sudah cukup jelas, namun sayang nasib dan kelanjutan Perundingan Renville relatif sama dengan Perundingan Linggarjati. Pada akhirnya, Belanda pun kembali melanggar perjanjian renville ini.

Hal ini dilakukannya dengan melakukan agresi militer II terhadpa Indonesia pada tanggal 19 Desember 1948.

5. Konferensi Asia di New Delhi

Perundingan-perundingan yang dilakukan oleh Indonesia semakin gencar saja. Indonesia bahkan melangsungkan Konferensi Asia di New Delhi yang di selenggarakan pada tanggal 20 - 25 Januari 1949.

Di dalam konferensi Asia ini, hadir 19 negara termasuk utusan dari Mesir, Italia, dan New Zealand. Beberapa wakil dari Indonesia antara lain Mr. Utoyo Ramelan, Sumitro Djoyohadikusumo, H. Rosyidi, dan lain-lain.

Hasil konferensi Asia ini meliputi:
a.       Pengembalian Pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta,
b.      Pembentukan pemerintahan AD Interim sebelum tanggal 15 Maret 1949,
c.       Penarikan tentara Belanda dari seluruh wilayah Indonesia,
d.      Penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia Serikat paling lambat tanggal 1 Januari 1950.

Untuk menanggapi rekomendasi dari Konferensi New Delhi ini, Dewan Keamanan PBB turut mengeluarkan sebuah resolusi pada tanggal 28 Januari 1949. Resolusi dewan Keamanan PBB ini isinya
a.       Penghentian operasi militer dan gerilya,
b.      Pembebasan tahanan politik Indonesia oleh Belanda,
c.       Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta, dan akan diadakan perundingan secepatnya.

Dampak dari berlangsungnya Konferensi Asia di New Delhi ini sangat jelas dan positif bagi Indonesia. Dari konferensi ini, Indonesia semakin mendapat dukungan internasional dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaannya dari ancaman Belanda.


7. Perundingan Roem - Royen

Agresi Militer Belanda II yang merupakan bentuk pelanggaran dari isi perjanjian Renville ini menimbulkan reaksi yang cukup keras dari Amerika Serikat dan Inggris, dan bahkan PBB. Reaksi ini pun tak lepas dari kepiawaian pada diplomat Indonesia dalam memperjuangkan dan menjelaskan realita terjadinya agresi ini pada PBB.

Salah satu diplomat handal Indonesia tersebut adalah L.N. Palar. Ia berhasil menguraikan dengan sangat baik dan jelas sehingga PBB dan negara lain mengerti kondisi Indonesia yang dirugikan oleh Belanda.

Sebagai reaksi dari Agresi Militer Belanda, PBB  kemudian memperluas kewenangan KTN (Komisi Tiga Negara). KTN lalu diubah menjadi UNCI. UNCI adalah kependekan dari United Nations Commission for Indonesia.

UNCI dipimpin oleh Merle Cochran (Amerika Serikat), serta dibantu oleh Critchley (Australia) dan Harremans (Belgia). UNCI bekerja sebagai penengah dan mencari jalan damai antara Belanda dan Indonesia.

Hasil kerja UNCI di antaranya adalah dengan mengadakan Perjanjian Roem-Royen antara Indonesia Belanda. Perjanjian Roem Royen berhasil diselenggarakan pada tanggal 14 April 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta.

Dalam perundingan Roem Royen ini, PBB diwakili oleh Merle Cochran (Amerika Serikat), delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Mr. Moh. Roem, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh van Royen. Dari nama perwakilan Roem dan Royen inilah, perundingan ini kemudian disebut sebagai perundingan Roem-Royen.

Dalam perundingan Roem-Royen, masing-masing pihak yang berunding dapat mengajukan statement. Delegasi Indonesia menyatakan kesediaan pemerintah Republik Indonesia untuk:
a.       menghentikan perang gerilya,
b.      bekerja sama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan,
c.       ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag untuk mempercepat pengakuan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat dengan tanpa syarat.

Sementara pernyataan dari delegasi Belanda, yaitu:
a.       menyetujui kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta,
b.      menjamin penghentian gerakan militer dan pembebasan semua tahanan politik,
c.       tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh RI sebelum 19 Desember 1948
d.      menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari RIS, dan
berusaha agar KMB segera diadakan sesudah RI kembali ke Yogyakarta.

Dari usulan kedua pihak tersebut, akhirnya diperoleh kesepakatan yang ditandatangani sebagai isi perjanjian Roem Royen pada tanggal 7 Mei 1949. Isi perjanjian Roem Royen tersebut adalah :
a.       Pemerintah RI dan Belanda sepakat untuk menghentikan tembak-menembak dan bekerja sama untuk menciptakan keamanan.
b.      Pemerintah Belanda akan segera mengembalikan pemerintah Indonesia ke Yogyakarta, dan
c.       kedua belah pihak sepakat untuk menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.

8. Konferensi Meja Bundar (KMB)

Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan tindak lanjut dari Perundingan Roem-Royen yang telah berlangsung sebelumnya. Sebelum pelaksanaan KMB, RI juga mengadakan pertemuan dengan BFO (Badan Permusyawaratan Federal).

Pertemuan dengan BFO ini dikenal dengan dengan sebutan Konferensi Inter-Indonesia (KII) Tujuan KII adalah untuk menyamakan langkah dan sikap sesama bangsa Indonesia dalam menghadapi Konferensi Meja Bundar selanjutnya.

Konferensi Inter-Indonesia diadakan pada tanggal 19 - 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan pada tanggal 31 Juli sampai 2 Agustus 1949 di Jakarta. Perundingannya difokuskan pada pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS).

Keputusan yang cukup penting hasil dari konferensi ini adalah akan dilakukan pengakuan kedaulatan tanpa ikatan politik dan ekonomi. Pada bidang pertahanan diputuskan pula beberapa hal berikut :
a.       Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) adalah Angkatan Perang Nasional,
b.      TNI menjadi inti APRIS, dan negara bagian tidak memiliki angkatan perang sendiri.

Berikutnya, Indonesia dan Belanda melakukan KMB sebagai langkah nyata dalam diplomasi untuk mencari penyelesaian sengketa antar kedua negara. Kegiatan KMB dilaksanakan di Den Haag, Belanda tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949.

KMB dihadiri oleh delegasi dari Indonesia, BFO, Belanda, dan perwakilan UNCI. Berikut adalah para delegasi yang hadir dalam KMB:
a.       Indonesia terdiri dari Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof.Dr. Mr. Soepomo.
b.      BFO dipimpin Sultan Hamid II dari Pontianak.
c.       Belanda diwakili Mr. van Maarseveen.
d.      UNCI diwakili oleh Chritchley.

Perundingan yang dilakukan dalam KMB memang cukup alot dan panjang. Namun, pada akhirnya KMB dapat memberikan hasil berupa beberapa keputusan berikut :

a.       Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
b.      Pengakuan kedaulatan dilakukan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949.
c.       Masalah Irian Barat akan diadakan perundingan lagi dalam waktu 1 tahun setelah pengakuan kedaulatan RIS.
d.      Antara RIS dan Kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia Belanda yang dikepalai Raja Belanda.
e.       Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia dengan catatan beberapa orvet akan diserahkan kepada RIS.
f.       Tentara Kerajaan Belanda selekas mungkin ditarik mundur, sedang Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) akan dibubarkan dengan catatan bahwa par anggotanya yang diperlukan akan dimasukkan dalam kesatuan TNI.

Sebagai tindak lanjut dari KMB ini, pada tanggal 27 Desember 1949 dilaksanakan penandatanganan pengakuan kedaulatan Indonesia secara bersamaan di Belanda dan di Indonesia.

Di negeri Belanda, Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Dress, Menteri Seberang Lautan Mr. A.M.J. A. Sassen, dan Drs. Moh. Hatta, bersama menandatangani naskah pengakuan kedaulatan.

Sedangkan di Jakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.H.J. Lovink menandatangani naskah pengakuan kedaulatan.

Adapun beberapa dampak dan pengaruh KMB bagi rakyat Indonesia, yakni sebagai berikut :

a.       Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.
b.      Konflik dengan Belanda dapat diakhiri dan pembangunan segera dapat dimulai.
c.       Irian Barat belum bisa diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat.
d.      Bentuk negara serikat tidak sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.