Kupas Tuntas Sejarah Masa Reformasi 1998

Menengok Kembali Penyebab Runtuhnya Orda Baru


Masa Reformasi 1998 selalu dikenal sebagai sebuah peristiwa besar dalam sejarah bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, reformasi 1998 inilah yang menjadi momentum bagi Indonesia untuk beralih dari sistem orde baru menuju sistem demokrasi melalui sebuah revolusi.

Latar belakang orde baru yang terbilang cukup kelam. Ada banyak intrik politik yang tersimpan di dalamnya. Bahkan, latar belakang orde baru yang sukses menggantikan orde lama pun sampai kini masih menyimpan suatu misteri.

Penyimpangan Orde Baru
Karenanya, wajar saja kalau masa pemerintahan orde baru ini pun juga menyimpan misteri tersendiri. Ada banyak hal yang kemudian mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru.

soeharto

Banyaknya penyimpangan orde baru diduga kuat menjadi pendorong utama rakyat, terutama dari kalangan mahasiswa untuk melakukan demonstrasi. Hal ini terutama terletak pada ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan hukum.

Meskipun pada awal munculnya era Orde Baru di tahun 1966, orde ini bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan dengan segala konsekuensinya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, namun kenyataannya berlainan.

Masyarakat Indonesia merasakan hal yang sama sekali bertolak belakang. Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, masyarakat Indonesia berada di bawah kondisi yang dapat dibilang penuh dengan kontrol.

Presiden Soeharto memegang tumpuk kekuasaan dan mengendalikan pemerintahan dengan kekuatan yang dapat dibilang hampir tak terbatas. Hal ini muncul lantaran suatu keinginan untuk terus menerus mempertahankan kekuasaannya atau status quo.

Dalam rangka mempertahankan status quonya ini, Presiden Soeharto menimbulkan akses-akses negative yang semakin jauh dari tekad awal Orde Baru tersebut. Hal ini pada akhirnya juga berbuntut pada penyelewengan dan penyimpangan nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan lain yang terdapat dalam UUD 1945.

Pemerintah Orde Baru melaksanakan demokrasi dengan semestinya yang kemudian menimbulkan berbagai permasalahan politik. Bahkan, kondisi ekonomi Indonesia pun semakin lama juga semakin terpuruk.

Penyelewengan orde baru ini juga dapat dirasakan dari adanya kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu saja, yakni lebih banyak di pegang oleh para penguasa pilihan Presiden Soeharto.

Di dalam UUD 1945 Pasal 2 telah disebutkan bahwa “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Meski secara de jure (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil dari rakyat, namun secara de facto (dalam kenyataannya) anggota MPR ini telah diatur dan direkayasa.

Sebagian besar anggota MPR bahkan hanya diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme) belaka, dan bukannya menjadi perwakilan yang mendapat amanat langsung dari rakyat. Kondisi ini menimbulkan rasa ketidakpercayaan rakyat terhadap institusi pemerintah, DPR, dan MPR.


Tuntutan Gerakan Reformasi
Rasa ketidakpercayaan inilah yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi dari berbagai pihak. Gerakan reformasi pada dasarnya menuntut pemerintah untuk melakukan reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dam MPR yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.

Gerakan reformasi ini juga menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan. Lima paket kebijakan politik tersebut, di antaranya :

1.    UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum
2.    UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR / MPR
3.    UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
4.    UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum
5.    UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.

Masa pemerintahan orde baru juga telah membuat perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional dianggap tumbuh dengan timpang. Ketimpangan ekonomi yang begitu besar ini terlihat dari adanya monopoli sumber ekonomi oleh kelompok tertentu serta konglomerasi.

Pada akhirnya, orde baru dianggap gagal dalam menghapuskan kemiskinan pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Kekuatan pemerintah yang masih besar yang dibenturkan dengan dorongan gerakan reformasi ini membuat kondisi dan situasi politik di tanah air semakin memanas.

Situasi politik ini bahkan semakin parah karena dipicu oleh peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa ini muncul sebagai akibat terjadinya pertikaian di dalam internal Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Namun, tak hanya konflik PDI saja yang semakin mendorong tuntutan gerakan reformasi ini. Masyarakat secara umum juga turut menuntut adanya reformasi baik di dalam kehidupan masyarakat, maupun pemerintahan Indonesia.

Masyarakat beranggapan bahwa di dalam kehidupan politik, tekanan pemerintah pada pihak oposisi sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari perlakuan keras pemerintah terhadap setiap orang atau kelompok yang menentang atau memberikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil atau dilakukan oleh pemerintah.

Pemilu tahun 1997
Sudah bukan rahasia lagi kalau masa Orde Baru sangat minim kritik karena kebebasan rakyat untuk menyampaikan pendapat dan kritik yang bertentangan dengan pemerintah memang sangat dibatasi. Hal ini lah yang membuat rakyat semakin merasa tertekan.

Rakyat juga menuntut agar masa jabatan presiden juga dibatasi. Bagaimana tidak, Presiden Soeharto memimpin Indonesia secara status quo tanpa diganggu gugat, dan seolah tanpa batas waktu. Setiap pemilu, Soeharto selalu memenangkan posisi presiden dari tahun 1966 hingga 1997.

Hal ini pun turut memicu ketegangan politik menjelang pemilihan umum tahun 1997. Menjelang pemilu 1997, kerusuhan baru berupa konflik antar agama dan etnik yang berbeda pun bermunculan. Kemudian, menjelang akhir kampanye pemilu tahun 1997, meletus kerusuhan di Banjarmasin yang banyak memakan korban jiwa.

Ternyata, Golkar kembali menang secara mutlak melalui pemilihan umum tahun 1997. Karena  Golkar sukses meraih kemenangan mutlak, maka partai ini pun dapat memberi dukungan terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden dalam Sidang Umum MPR tahun 1998 – 2003.

Akan tetapi, kalangan masyarakat yang dimotori oleh para mahasiswa menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Penolakan ini berkembang dengan sangat kuat.

Namun sayang, dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998, Soeharto kembali terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dan BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden. Karenanya, para mahasiswa dan kalangan intelektual pun menentang hasil keputusan sidang umum MPR ini.

Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru juga terdapat banyak ketidakadilan. Kalangan mahasiswa yang memotori gerakan reformasi ini pun turut menuntut permasalahan hukum yang dirasa tidak adil sehingga dapat dibenahi.

Krisis Moneter dan Keadaan Ekonomi Indoenesia Menjelang tahun 1998
Bersamaan dengan tuntutan gerakan reformasi ini, negara-negara di Asia Tenggara pun turut dilanda dengan krisis moneter sejak bulan Juli 1996. Krisis yang melanda Asia Tenggara ini pun juga  mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia. (baca juga: Arti Kebijakan Moneter dan Tujuan Kebijakan Moneter)

Ekonomi Indonesia tak mampu menghadapi krisis global tersebut. Hal ini tampak dari mulai melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Nilai tukar rupiah pun semakin lama semakin melemah saja.

Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0%. Akibatnya, iklim bisnis di indonesia juga semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan yang sangat dalam.

Sejumlah bank harus mengalamai likuidasi pada akhir tahun 1997. Sementara itu, untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (KLBI). Namun sayang, aneka usaha yang dilakukan pemerintah tidak dapat memberikan hasil.

Pinjaman bank-bank bermasalah tersebut jumlahnya semakin bertambah besar dan tidak dapat dikembalikan begitu saja. Pada akhirnya krisis moneter ini tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara, tetapi juga telah menghancurkan keuangan nasional.

Masalah Hutang Luar Negeri Indonesia
Memasuki tahun anggaran 1998 / 1999, krisis moneter semakin mempengaruhi aktivitas ekonomi pada bidang lainnya. Kondisi perekonomian semakin memburuk. Pada akhir tahun 1997, persedian sembilan bahan pokok (sembako) di pasaran juga mulai menipis.

Hal ini menyebabkan harga-harga barang naik tidak terkendali. Inflasi yang melonjak ditambah dengan kelaparan dan kekurangan makanan mulai melanda masyarakat. Untuk mengatasi kesulitan moneter ini, pemerintah Indonesia meminta bantuan IMF.

Namun, kucuran dana dari IMF yang sangat diharapkan belum juga terelisasi, walaupun pada 15 januari 1998 Indonesia telah menandatangani 50 butir kesepakatan (Letter of Intent atau LOI) dengan IMF. Ditambah dengan masalah utang luar negeri, krisis ekonomi yang melanda Indonesia pun semakin parah.

Utang Luar Negeri Indonesia menjadi salah satu penyebab yang memperparah krisis ekonomi. Namun, utang luar negeri Indonesia ini tidak sepenuhnya merupakan utang Negara, tetapi sebagian besarnya justru merupakan utang swasta.

Utang yang menjadi tanggungan Negara hingga 6 februari 1998 mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat. Sementara, utang pihak swasta mencapai 73,962 miliar dollar Amerika Serikat.

Karena utang-utang tersebut, maka kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia semakin menipis. Apalagi, keadaan perbankan di Indonesia juga dianggap tidak sehat karena adanya kolusi dan korupsi dan juga kredit macet yang tinggi.

Pemerintah Orde Baru berkeinginan untuk menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai Negara industry memang tidak relevan. Pemerintah tidak mempertimbangkan kondisi riil di masyarakat indonesia yang merupakan sebuah masyarakat agrasis dengan tingkat pendidikan yang masih rendah.

Sementara itu, pengaturan perekonomian masa pemerintahan Orde Baru telah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila. Padahal, dalam Pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, adalah ketika produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.

Sebaliknya, masa orde baru telah melakukan penyimpangan terhadap pasal 33 UUD 1945 ini dengan pemberlakukan sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.

Pola Sentralisasi Pemerintahan
Pola pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru lebih bersifat sentralistis. Di dalam pelaksanaan pola pemerintahan sentralistis ini, semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pemerintah pusat yakni di Jakarta.

Pelaksanaan politik sentralisasi ini pun terlihat sangat mencolok terutama pada bidang ekonomi. Sebagian besar kekayaan dari daerah-daerah selalu saja diangkut ke pusat. Karenanya, hal ini menimbulkan ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat.

Politik sentralisasi ini dapat pula dilihat dari pola pemberitaan pers yang bersifat Jakarta-sentris. Pemberitaan yang berasal dari Jakarta selalu menjadi berita utama, sedangkan peristiwa yang terjadi di daerah dan kurang berkaitan dengan kepentingan pusat biasanya diabaikan.


Tragedi Trisakti
Pemerintahan yang kacau balau di bidang ekonomi dan politik ini pun mendorong para mahasiwa untuk melancarkan demonstrasi. Demontrasi yang dilakukan para mahasiswa ini pun bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998.

Puncak aksi demonstrasi para mahasiswa ini terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Awalnya, aksi mahasiswa ini bersifat damai. Akan tetapi, aksi ini berubah menjadi aksi kekerasan dan menjadi sebauh tragedi Trisakti,

Bahkan, tragedi trisaksi ini telah menewaskan empat orang mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan karena tertembak oleh aparat pemerintah.

Tragedi Trisakti itu kemudian semakin mendorong munculnya solidaritas dari kalangan kampus dan masyarakat. Mereka menentang kebijakan pemerintahan yang dipandang tidak demokratis dan tidak merakyat.

Masyarakat Indonesia pun semakin gencar untuk menuntunt Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden. Rencana kunjungan mahasiswa ke Gedung DPR/ MPR untuk melakukan dialog dengan para pimpinan DPR/ MPR akhirnya berubah menjadi mimbar bebas.

Mereka memilih untuk tetap tinggal di gedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan reformasi total dipenuhi. Tekanan para mahasiswa lewat demontrasi yang menuntut presiden Soeharto mengundurkan diri akhirnya mendapat tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan DPR / MPR.

Pada tanggal 18 Mei 1998 pimpinan DPR/MPR pun mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri. Presiden Soeharto kemudian mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta.

Presiden lalu mengumumkan tentang pembentukan Dewan Reformasi, melakukan perubahan kabinet, dan segera melakukan Pemilihan Umum. Ia pun menyatakan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai Presiden.

Namun, dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan kabinet tidak dapat dilakukan. Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998 menjadi hari dimana Soeharto lengser.

Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri atau berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan Jabatan Presiden kepada Wakil Presiden Republik Indonesia, yakni B.J. Habibie.

Setelah itu, B.J. Habibie pun langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru di Istana Negara dan menggantikan Soeharto sebagai presiden Habibie.