Pendekatan Joyful Learning untuk Penelitian Tindakan Kelas

Banyak mata pelajaran di sekolah yang sebagian besar berisi konsep-konsep teoritis yang untuk menguasainya banyak diperlukan memori otak untuk menghafal. Proses menghafal ini seringkali menimbulkan kesan mata pelajaran menjadi tidak menarik dan membosankan.

Apalagi bagi siswa yang tidak suka menghafal, mata pelajaran yang demikian menjadi sulit untuk dikuasai hingga akhirnya membuat banyak siswa gagal memperoleh nilai yang memuaskan (Dedi Supriadi, 1999).

Melihat situasi demikian, perlu kiranya dilakukan strategi pembelajaran yang mampu mengubah minat siswa terhadap jenis mata pelajaran dengan karakteristik demikian. Pemahaman siswa dalam belajar berkaitan erat dengan kemampuan siswa dalam mengingat (Tjipto Utomo dan Kees Ruijter, 1994). Karenanya untuk membantu ingatan siswa, salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah dengan metode pembelajaran yang menyenangkan, atau sering disebut joyful learning.

Menerapkan joyful learning pada dasarnya sesuai dengan anjuran pemerintah. Penyampaian materi secara menyenangkan memang telah diserukan oleh Pemerintah. Depdiknas melalui UU No. 20/2003 Pasal 40 menyatakan bahwa “guru dan tenaga kependidikan berkewajiban untuk menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis”.

Hal ini juga ditandaskan dalam PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 19 ayat 1, yang berisi “proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara inspiratif, interaktif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, memberikan ruang gerak yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik” (Depdiknas 2003).

Mengacu pada seruan tersebut, joyful learning menjadi salah satu bentuk strategi pembelajaran yang sesuai untuk diterapkan pendidik dalam menciptakan pembelajaran yang menyenangkan sekaligus memacu kreativitas siswa dalam pembelajaran.

Padahal, banyak pengamatan menunjukkan masih banyak proses pembelajaran di sekolah yang dikemas kurang menarik bagi siswanya, sehingga joyful learning dapat menjadi salah satu alternatif dalam penciptaan pembelajaran yang menarik.

Poin utama dalam metode pendekatan joyful learning adalah keterlibatan siswa secara aktif. Meningkatkan keterlibatan siswa secara aktif dapat dilakukan dengan mengajak siswa untuk turut memecahkan masalah, dan tidak hanya mendengarkan saja.

Dengan demikian, siswa akan dapat belajar lebih banyak tentang konsep yang teoritis. Siswa harus dibuat aktif terlibat dalam eksperimen, membicarakannya, memikirkannya dan menerapkannya pada dunia nyata di sekitar mereka.

Belajar merupakan proses yang berkelanjutan, sehingga kegiatan pembelajaran sebaiknya dikembangkan berdasarkan urutan di mana setiap pengalaman dikembangkan berdasarkan proses pembelajaran sebelumnya.


Baca juga: Model Pembelajaran Group Investigation


Untuk mencapai tujuan pembelajaran melalui pendekatan joyful learning, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, sebagai berikut:

1. Kebermaknaan

Kebermaknaan artinya bagaimana memberikan makna yang berkesan bagi siswa. Pembelajaran yang bermakna mampu meningkatkan pemahaman siswa. Pemahaman tersebut perlu digali melalui pengalaman siswa sendiri. Karena dengan pengalaman, maka pembelajaran dapat meninggalkan kesan yang lebih bermakna bagi siswa untuk membantu pemahaman.

2. Penguatan
Penguatan yang dimaksud adalah tentang materi pelajaran. Penguatan materi dilakukan melalui pengulangan oleh guru serta latihan oleh siswa. Dengan penguatan memori siswa melalui pengulangan dan latihan, maka hal ini dapat menanggulangi proses lupa. Dalam pendekatan joyful learning, penguatan merupakan hal penting yang perlu diperhatikan. 

3. Umpan balik
Umpan balik dalam kegiatan belajar dapat lebih efektif ketika siswa menerima dengan cepat tentang hasil tugas belajar tersebut. Umpan balik diperlukan siswa untuk membuka wawasan dan memberikan kesempatan siswa untuk mengkonstriksi ulang bila terjadi kesalahan pemahaman atau adanya pemahaman yang kurang tepat.

Umpan balik yang diberikan tidak harus secara kompleks atau rumit. Umpan balik secara sederhana pun dapat dilakukan, misalnya dengan koreksi jawaban siswa atas pertanyaan guru selama pelajaran berlangsung, atau koreksi pekerjaan siswa.