Dasar Pemikiran Neoliberalisme

Secara sederhana, neoliberalisme dapat diartikan sebagai liberalisme bentuk baru. Ada dua jenis aliran teori neoliberalisme yang berkembang. 

Aliran yang pertama adalah ordo neoliberalisme. Ordo neoliberalisme dikembangkan oleh para pakar dalam Mazhab Freiburg di Jerman pada akhir abad ke-20.

Mazhab Freiburg muncul dari pemikiran sekelompok ahli untuk menyanggah kritikan dari sosialisme Marx atau marxisme. Para pakar ekonomi politik tersebut diantaranya Wilhelm Röpke, Walter Eucken, Franz Bohm, Alexander Rustow, dan Alfred Muller-Armack. 

Mereka mulai mengembangkan gagasan ekonomi ini pada tahun 1928 dengan menerbitkan jurnal berjudul Ordo: Jahrbuch für die Ordnung von Witschraft und Gesselschaft (Deliarnov, 2006: 162).

Sistem neoliberal yang diusung Mazhab Freiburg ini adalah ekomomi pasar sosialis atau soziale marktwirtschaft atau social market economy. Konsepnya berupa sistem ekonomi bebas yang dijaga oleh berbagai regulasi pemerintah. 

Tujuan dari regulasi ini adalah untuk menghindari konsentrasi kekuasaan ekonomi serta menjaga keadilan dan efisiensi. Ordo ini percaya bahwa kinerja pasar memerlukan tindakan politik (Deliarnov, 2006: 163).

Aliran Freiburg mengusulkan adanya bentuk politik kebijakan sosial. Konsep ini dinilai bisa mencegah gejala terkonsentrasinya kekuasaan bisnis ke perusahaan-perusahaan besar. 

Politik kebijakan sosial dalam bentuk kesejahteraan menjadi hal pokok dalam menciptakan ekonomi yang kompetitid dan berkeadilan. 

Konsep kebijakan sosial juga ditujukan untuk menciptakan serta memperluas kewirausahaan dalam masyarakat (Deliarnov, 2006: 163).




Teori neoliberalisme yang kedua adalah teori yang lebih banyak dipelajari dalam berbagai literature serta lebih banyak dikenal sebagai neoliberalisme. Kemunculan teori neoliberalisme ini dilatarbelakangi pada pertemuan di bulan April tahun 1947. 

Ketika itu, Friedrich August von Hayek mengundang para pakar dengan berbagai latar belakang dari Amerika Utara dan Eropa. 

Para pakar tersebut diantaranya Milton Friedman, George Stigler, Karl Popper, Lionel Robbins, Wilhelm Röpke, Ludwig von Mises, Michael Polanyi, Salvador di Madariga serta Walter Euchen. 

Tujuan dari kelompok ini adalah untuk mempromosikan liberalisme ke suluruh dunia. Selanjutnya, mereka tergabung dalam kelompok pendukung neoliberalisme yang dinamakan “The Mont Pelerin Society” atau MPS (Deliarnov, 2006: 163, lihat juga Eppler, 2009: vii).

Kelompok ini menjabarkan neoliberalisme sebagai sebuah faham dengan misi menyingkirkan peran pemerintah dalam segala urusan ekonomi dan menyerahkan urusan tersebut pada pasar (Deliarnov, 2006: 164). 

Konsep ini muncul berdasarkan pemikiran bahwa untuk kemajuan manusia maka perlu adanya kebebasan berusaha. Kebebasan berusaha atau free enterprise ini meliputi hak kepemilikan, kebebasan individu, pasar bebas dan perdagangan bebas. 

Neoliberalisme menjadi sebuah konsep utama dalam globalisasi yang menjelaskan mengenai hegemoni kepetingan. Pada intinya, neoliberalisme merupakan bentuk teori ekonomi politik praktis yang yang berorientasi utama pada manusia sebagai makhluk ekonomi (homo economicus) (Losche, 2009: 6). 

Konsep ini berisikan ajaran mengenai pencarian kekayaan pribadi secara terus-menerus. Ketiadaan hak kekayaan pribadi menjadikan manusia tidak dapat memperoleh kesejahteraan (Harvey, 2007: 64).

Ada beberapa hal yang menjadi kunci utama untuk meningkatkan kesejahteraan serta sebagai solusi dari berbagai masalah sosial ekonomi. Hal tersebut mencakup pasar, deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, serta pengurangan program-program kesejahteraan dan subsidi. 

Dalam sebuah bukunya yang berjudul The Road to Serfdom (1944), Hayek mengungkapkan bahwa hal yang perlu dilakukan adalah membiarkan individu-individu melakukan reaksi terhadap harga pasar yang terbentuk secara bebas. 

Dengan demikian akan terjadi optimalisasi alokasi modal, kreativitas manusia dan tenaga kerja. Kondisi ini sangat kondusif dan tidak mungkin ditiru oleh perencanaan terpusat sehebat apapun (Deliarnov, 2006: 164).

Milton Friedman dalam bukunya Capitalism and Freedom (1962) menganggap bahwa kepemilikan swasta menjadi sesuatu yang absolut. Satu-satunya tanggung jawab perusahaan hanyalah akumulasi laba privat sebanyak-banyaknya dengan seluruh sumber daya yang dimiliki. 

Dalam neoliberalisme tidak ada tanggung jawab sosial bagi perusahaan untuk menyejahterakan masyarakat (Deliarnov, 2006: 165). 

Menurut faham ini, pasar adalah instrument yang sangat efektif demi memajukan kebaikan semua orang. Kebaikan bersama dalam doktrin ini diperoleh melalui penjumlahan terbesar dari kebaikan individu-individu (Eppler, 2009: 133).

Faham neoliberalisme ini dapat dikatakan sebagai faham yang anti negara. Namun, hal ini tidak berarti neoliberalisme menginginkan adanya penghapusan kekuasaan pemerintah sama sekali. Pemerintah tetap dipertahankan untuk melakukan tugas yang disebut sebagai “watch dog” atau anjing penjaga (Deliarnov, 2006: 169). 

Dalam perspektif neoliberal, mekanisme pasar harus berjalan tanpa batasan atau undang-undang sama sekali. Adanya kompetisi antar individu, antar pengusaha, antar kelompok daerah merupakan hal yang menguntungkan. 

Namun, ketika aturan neoliberal berjalan menyimpang maka negara dapat menggunakan kekuasaannya untuk menciptakan ataupun memaksakan sistem untuk mengembalikan keseimbangan pasar dan kebebasan individu. Negara neoliberal harus terus menerus berinovasi agar dapat bersaing dengan negara lain di pasar global (Harvey, 2007: 65).

Peran pemerintah dalam konsep neoliberal hanya sebatas menciptakan kerangka regulasi yang memastikan praktek neoliberal berjalan dengan baik. 

Pemerintah berkewajiban untuk membuat kerangka dimana setiap individu dapat bekerja dan mengejar tujuan masing-masing. Pemerintah tidak memiliki tanggung jawab dalam menjamin kesejahteraan umum (Deliarnov, 2006: 168). 

Selain itu, pemerintah memiliki tugas tambahan untuk mengembangkan teknik-teknik baru dan mengontrol rakyat, tanpa ada tanggung jawab terhadap rakyat (Deliarnov, 2006: 169).

Neoliberalisme memiliki visi yang menarik dalam pengandaian manusia sebagai homo oeconomicus. Konsep homo oeconomicus direntang luas untuk diterapkan pada semua dimensi hidup manusia dan dijadikan prinsip pengorganisasian seluruh masyarakat. 

Hal ini menjadi aspek utama yang membedakan ekonomi neoliberal dari ekonomi liberal klasik. Gary Becker dalam The Economic Approach to Human Behavior (1976) menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi menyediakan kerangka semesta untuk memahami semua tingkah laku manusia. Dalam perspektif oeconomicus berkembang hierarki prioritas. 

Prioritas sektor finansial (financial capital) atas sektor-sektor lain dalam ekonomi. Perspektif ini memunculkan revolusi produk finansial dalam sektor virtual, seperti derivatif, sekuritas, dan sejenisnya (www.unisosdem.org, diakses pada 15/04/2012).


Sebagai sebuah faham, neoliberalisme memerlukan legitimasi dari masyarakat dunia. Ideologi dapat tertanam dengan kuat bila dapat mempengaruhi negara, media, pendidikan, sosial masyarakat, asosiasi profesi dan berbagai aspek kehidupan lain dalam masyarakat. 

Opini publik perlu dibentuk agar publik mendukung neoliberalisme dan praktek neoliberal pun dapat berjalan lancar. Salah satu upaya bentuk penanaman faham yang kuat dilakukan melalui aspek politik. Langkah awalnya adalah dengan menyebarkan melalui partai politik, dan pada akhirnya mengambil alih kekuasaan negara (Harvey, 2005: 40).

Bentuk dari penerapan neoliberalisme oleh pemerintah antara lain:


  1. Adanya deregulasi dan debirokratisasi yang membuat campur tangan pemerintah dalam ekonomi semakin dikurangi.
  2. Privatisasi dan penghapusan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
  3. Pengurangan dan penghapusan program bantuan pemerintah dan pajak (Deliarnov. 2006: 175).


Konsep neoliberalisme berusaha ditanamkan melalui upaya mendapatkan hak dalam institusi kepemerintahan. Kewenangan dapat diperoleh melalui akses pembuatan kebijakan, kerangka legalitas, kepemerintahan, mekanisme pasar, serta partisipasi demokrasi. 

Proses ini seringkali mengabaikan sektor riil, investasi, maupun pengembangan produksi secara langsung (Craig, Porter, 2006: 14).


Pemikiran utama dalam doktrin neoliberalisme menyebutkan bahwa “demokrasi adalah sistem politik terbaik, dan ekonomi pasar bebas adalah sistem ekonomi yang terbaik”. 

Ekonomi pasar bebas dan ketiadaan campur tangan negara dianggap sebagai dasar utama dalam demokrasi yang sebenarnya bagi neoliberal (Friedman, 2003: 2-3). Namun demikian, konsep neoliberalisme tidak sepenuhnya sejalan dengan demokrasi. 

Neoliberalisme memandang demokrasi sebagai ancaman yang dapat membatasi kebebasan individu. Demokrasi dianggap dapat dijadikan sebagai representasi dari kelas menengah dalam upaya menciptakan stabilitas politik. 

Stabilitas politik dengan berbagai kebijakan dan regulasi yang berpusat pada pemerintahan rakyat. Hal ini dinilai neoliberal berpotensi menekan hak kebebasan individu (Harvey, 2005: 66).

Meski tidak sejalan, neoliberal tetap berpura-pura untuk menghargai konsep demokrasi. Rakyat dibiarkan berharap mengharap keuntungan ekonomi dari berbagai kebijakan pemimpin yang mereka pilih. 

Struktur kekuatan politik sesungguhnya dibentuk demi kepentingan pasar modal, kekuatan korporasi, perserikatan, kelompok kepentingan khusus, dana kampanye politik, pengaruh dalam pembuatan perundangan-undangan. 

Hal-hal tersebut terangkum dalam pemanfaatan demokrasi. Keberlangsungan demokrasi dijalankan sebagai sebuah ritual. Pemerintah lebih bertanggung jawab kepada kepentingan ini dibandingkan pada rakyat. 

Konsep demokrasi ini mengarah pada pembentukan negara sebagai perusahaan tanpa memperhatikan kepentingan publik secara umum (Friedman, 2003: 4). Demokrasi menyediakan kerangka berfikir untuk membentuk intitusi politik. 

Tidak diperlukan jalan kekerasan. Intitusi baru dapat dibentuk dengan alasan penyesuaian konsep lama dengan desain perkembangan ekonomi yang baru (Friedman, 2003: 154).

Dalam aspek sosial, neoliberalisme mengubah tata cara kehidupan masyarakat menjadi individualistik. Masyarakat dapat berubah menjadi konsumtif dan narcissistic. 

Masyarakat menjunjung tinggi adanya kebebasan individu dan multikulturalisme. Ideologi ini dapat mempengaruhi hingga ke budaya perusahaan, bisnis, sistem pasar, ssitem masyarakat, lifestyle, mode, ekspresi dan praktek budaya masyarakat. 

Neoliberalisme menjadi identitas politik yang menjamin berlangsungnya konsep kapitalis dan liberal (Harvey, 2005: 41).