Menelusuri Marxisme melalui Pemikiran Karl Marx

Kemunculan faham marxisme berawal dari kritikan Karl Marx (1818-1883) terhadap kapitalisme. Karl Marx dikenal sebagai pelopor utama gerakan sosialisme ilmiah dan bapak kapitalisme internasional. 

Marx mulai dikenal ketika menerbitkan buku bersama Friederich Engels yang berjudul Communist Manifesto pada 1847. Buku ini memaparkan mengenai pertikaian antarkelas serta menyebut negara sebagai instrumen penindasan.

Selain buku Communist Manifesto, Marx juga menulis banyak buku lain yang isinya mengarah pada konsep sosialis. Salah satu karya Marx yang terkenal adalah bukunya berjudul Das Capital pada 1867. Karya-karya Marx inilah yang pada akhirnya mendasari kemunculan ideologi marxisme (Deliarnov, 2005: 52).

Marx tidak pernah menempatkan konsep-konsep pemikirannya sebagai sebuah ideologi atau faham yang disebut Marxisme. 

Marxisme sebagai faham mulai dikembangkan setelah kematian Marx pada 1883. Pemikiran Marx dijadikan sebuah ideologi baru yang diberi nama Marxis oleh para pemikir Jerman (Ritzer, 2005: 478). 

Hal ini membuat konsep marxisme sulit untuk didefinisikan secara tepat. Pada dasarnya, ajaran marxis berusaha untuk menyelaraskan antara realitas, teori dan konsep pemikiran (Albert, Hahnel, 1991: 13).

Landasan filosofi Karl Marx berpijak pada dialektika yang dikembangkan oleh Hegel pada 1818. Hegel mengungkapkan sebuah filosofi mengenai idealisme dan sejarah. 

Filosofi ini menjelaskan tentang gejolak sosial yang berkaitan dengan masa depan peradaban. Pemikiran Hegel mengenai siklus perubahan sejarah inilah yang menjadi inspirasi Marx. Marx memikirkan sebuah konsep revolusioner dalam membentuk teori masyarakat (Chilcote, 2010: 114).

Marx menjabarkan konsep penting mengenai negara dan kelas penguasa. Marx meyakini bahwa sejarah adalah hasil perjuangan kelas. Dalam proses terbentuknya kelas-kelas sosial, kapitalisme memiliki peranan besar. 

Kapitalisme memungkinkan kelas-kelas penguasa melakukan eksploitasi terhadap para buruh. Di bawah kapitalisme, negara akan berpihak pada sisi para penguasa. Marx meyakini bahwa kelas yang berkuasa secara ekonomi akan berkuasa pula secara politik. 

Hal ini menunjukkan bahwa negara merupakan ciptaan masyarakat sipil yang digunakan untuk melindungi kepentingan kelas-kelas penguasa. Benturan kepentingan antar kelas ini mendorong adanya pertikaian dalam negara. Marx mengusulkan bahwa nantinya negara maupun kelas penguasa harus dihapuskan (Chilcote, 2010: 148).

Marx tidak hanya berfikir mengenai sebuah ide ekonomi saja, melaikan mengenai metode totalitas. Dalam pandangannya, dunia harus dipahami sebagai sebuah unit tunggal yang terintegrasi. 

Konsep ini merupakan konsep sosialis yang muncul sebagai respon dari industrialisasi kapital. Negara kapitalis dianggap sebagai sebuah sistem yang tidak adil. Kapitalisme memicu terjadinya konflik antarkelas. 

Dimana satu sisi berperan sebagai oppressor (penindas), dan di lain pihak terdapat oppressed (orang yang tertindas). Para kapitalis akan mengeruk laba sebanyak mungkin dengan menekan buruh (Deliarnov, 2006: 41-42).

Marx melihat kapitalisme sebagai sebuah sistem yang memiliki banyak kelemahan. Menurut Marx, kapitalisme adalah bentuk eksploitasi pada buruh. Kapitalisme membuat para buruh mengalami keterasingan atau alienates. 

Hal ini memaksa buruh terisolasi dan tidak dapat bertumbuh. Buruh dijadikan sebagai sarana atau alat untuk memenuhi kebutuhan para kapitalis. Dengan kata lain, buruh dialienasi dari sifat dasarnya sebagai manusia (Ritzer, Goodman, 2011: 36).


Marxis menolak kapitalisme sebagai sistem yang dianggap self-sustained. Dalam pandangan Marxisme, kapitalisme lebih tepat disebut sebagai self-destructive

Hal ini karena besarnya tekanan para kapitalis terhadap para buruh. Karl Marx pernah memprediksi akan terjadinya revolusi dari para buruh. 

Untuk itu, kapitalisme harus segera digantikan dengan sebuah sistem sosial yang berlandaskan pada kepemilikan bersama dan distribusi secara kolektif (Deliarnov, 2005: 42). 

Dalam perspektif Marxis, perubahan ekonomi mampu mentransformasi suprastruktur ideologi. Tindakan-tindakan manusia bergantung pada perubahan dalam struktur ekonomi (Chilcote, 2010: 161).

Marx memiliki konsepsi materialistik yang melihat adanya suprastruktur politik oleh suatu basis ekonomi. Ekonomi menjadi satu-satunya faktor penentu bagi segala konsepsi kehidupan secara umum. 

Baik itu politik, sosial, budaya, moral, falsafah ataupun ideologi, segalanya dikondisikan oleh faktor ekonomi berupa materi. Dalam mengaitkan antara politik ke ekonomi pasar, Marx meyakini adanya struktur dominasi dalam setiap organisasi ekonomi. 

Politik bagi Marx hanya merupakan jembatan bagi kelas berkuasa untuk melegitimasi kontrolnya guna memperoleh materi (Deliarnov, 2005: 44).

Baca juga: Macam Macam Sistem Ekonomi

Analisis Marx menyebutkan bahwa keberadaan kelas terikat hanya pada fase-fase sejarah tertentu dalam bentuk perkembangan produksi. Diperlukan pemimpin dari kelas proletar atau buruh untuk membentuk negara yang otoritarian. 

Guna membawa pada kediktaktoran proletariat, diperlukan perjuangan kelas. Dengan sendirinya, kediktaktoran ini menjadi transisi menuju penghapusan seluruh kelas. Yang pada akhirnya menuju suatu masyarakat tanpa kelas dimana hak milik pribadi terhadap properti ditiadakan. 

Bagi Marx, keberadaan hak milik properti ditunjukan dari adanya kepemilikan barang dan kesempatan pendapatan. Dimana hal ini merupakan ciri dari adanya kelas dalam masyarakat (Chilcote, 2010: 171).

Dari pemikiran Marx dan Engels, Lenin mengemukakan teori negara dalam buku State and Revolution pada 1932. Lenin berpendapat bahwa negara merupakan bentuk perwujudan dari antagonisme kelas yang tidak dapat dipersatukan atau irreconcibility

Karenanya, kekuasaan negara harus dihapuskan dengan revolusi yang kasar. Kompromi dan solusi-solusi reformis dianggap tidak mampu memecahkan antagonisme-antagonisme kelas (Chilcote, 2010: 259).

Kaum proletar mengemban tugas untuk melaksanakan perjuangan melawan negara beserta instrument-instrumen kekuasaannya. Kekuasaan selanjutnya dipegang oleh kaum proletar. 

Cara-cara produksi lantas ditransformasikan dari kepemilikan pribadi menjadi kepemilikan negara. Transisi kekuasaan kapitalisme ini menimbulkan pemerintahan proletariat atau kediktaktoran proletariat. Demokrasi borjuis berubah menjadi demokrasi proletariat. 

Fungsi-fungsi negara pada akhirnya diserahkan kepada masyarakat hingga tidak ada lagi kebutuhan akan kekuasaan semacam ini. Setelah perkembangan produksi mencapai tataran tertinggi, keberadaan kelas tidak diperlukan lagi. 

Begitu pula dengan negara juga harus dihapuskan. Negara digantikan dengan penguasaan oleh seluruh masyarakat. Orang akan bekerja secara sukarela sesuai kemampuan dan menerima sesuai kebutuhan mereka (Chilcote, 2010: 260).