Ide-ide dalam Teori Gerakan Sosial

Teori gerakan sosial atau Social Movement theory mulai dikenal sejak tahun 1970-an. Salah satu tokoh yang mempopulerkan konsep gerakan sosial kala itu adalah Goffman

Goffman menggambarkan teori ini sebagai suatu gerakan yang mampu menjatuhkan kekuasaan. Teori gerakan sosial lahir sebagai bagian dari pengembangan mobilization theory.

Konsepnya dikembangkan dari ide mengenai bagaimana memunculkan suatu seruan yang mempengaruhi pergerakan masyarakat, tanggapan dan dukungan dari media serta bagaimana respon dari masyarakat. 

Social Movement theory menggarisbawahi ide dasar dari para partisipannya. Langkah awal para partisipan digerakan oleh niatan masing-masing. Bentuk partisipasinya sering diekspresikan secara bebas dalam berbagai aksi secara nyata (Ritzer, 2005: 289).

Giddens (1993) mendefinisikan gerakan sosial sebagai suatu upaya atau gerakan untuk mencapai kepentingan dan tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan (Putra dkk, 2006: 1). 

Pendapat serupa juga diutarakan oleh Tarrow (1998). Tarrow mendefinisikan gerakan sosial sebagai politik perlawanan yang dilakukan oleh rakyat biasa yang bergabung dengan kelompok masyarakat yang lebih berpengaruh. 

Menggalang kekuatan bersama dengan tujuan melawan para elit, pemegang otoritas ataupun pihak-pihak lawan yang lain. Perlawanan ini berubah menjadi sebuah gerakan sosial ketika didukung oleh jaringan sosial yang kuat serta resonansi kultural dan simbol-simbol aksi yang menimbulkan interaksi berkelanjutan dengan pihak lawan (Putra dkk, 2006: 1).


Gerakan Sosial menjadi respon dari ketidakpuasan rakyat terhadap penyebaran nilai yang tidak sesuai keinginan publik. Biasanya dimunculkan dari adanya indikasi ketidakadilan. Dimana dalam pergerakan sosial melibatkan anggota, lawan dan rakyat secara luas (Ritzer, 2005: 230). 

Bentuk Social Movement dapat dikelompokan berdasarkan pada keinginannya untuk berubah (partial/limited dan total/radical) serta target perubahan (individuals dan society as a whole). Berdasarkan dua hal tersebut, sosial movement dibagi menjadi beberapa tipe yakni: alternative, redemptive, reformative, dan revolutionary-transformative (www.globalsociology.pbworks.com, diakses pada 04/05/2012).


Alternative Social Movements merupakan bentuk gerakan sosial dengan tipe perubahan parsial atau terbatas dan dengan target individu. Alternative social movements sedikit menggunakan ancaman status quo dan tidak terlalu peduli terhadap perubahan sistem. 

Jenis ini cenderung memiliki fokus kepentingan jarak dekat atau pendek, atau pada segmen tertentu saja. Misalnya saja pada pola kebiasaan yang terfokus pada pembatasan kegiatan individu (www.globalsociology.pbworks.com, diakses pada 04/05/2012).

Redemptive Social Movements memiliki tipe perubahan secara menyeluruh atau total atau radikal, dengan target individu. Redemptive social movements memiliki fokus yang terbatas pada individu (specific individuals). Tipe ini menggunakan cara yang radikal untuk mengubah pola kebiasaan individu tersebut. Mereka memiliki tujuan untuk mengubah individu secara keseluruhan. 

Contohnya adalah seperti pada fundamentalist religious movements, tata cara adat budaya dan pemujaan. Ketika gerakan keagamaan menekankan pada perubahan layaknya kelahiran kembali, mereka terindikasi mengharapkan bentuk perubahan individu secara menyeluruh, atau yang dapat disebut dengan radical inner change (www.globalsociology.pbworks.com, diakses pada 04/05/2012).

Reformative Social Movements tipe perubahan yang digunakan secara parsial atau terbatas dengan target sasaran pada society atau masyarakat. Reformative movements menargetkan perubahan pada batas-batas tertentu dalam aspek-aspek tertentu. Pelaku Reformative movements biasanya berusaha untuk mencapai tujuan mereka melalui efek pada perubahan dalam sistemnya. Akan tetapi, mereka tidak berusaha menghancurkannya. 

Reformative movements biasa menggunakan jalur sistem yang resmi atau legal untuk mempromosikan pemikiran mereka. Mereka akan mencoba menantang hukum yang mereka anggap tidak adil. Jika mereka melakukan aksi, mereka akan cenderung menghindari kekerasan (www.globalsociology.pbworks.com, diakses pada 04/05/2012).


Reformative movements biasa ditemukan di negara demokrasi. Hal ini karena demokrasi menjamin adanya kebebasan berbicara, berserikat dan mengizinkan adanya partisipasi politik. Gerakan ini biasanya bertujuan untuk mempromosikan kemajuan. Misalnya seperti perubahan atau reaksi dalam melawan atau menggati sesuatu yang telah berjalan (www.globalsociology.pbworks.com, diakses pada 04/05/2012).

Revolutionary/ Transformative Social Movements menggunakan tipe perubahan total atau radikal dengan target pada masyarakat. Revolutionary movements tidak tertarik bekerja pada sistem. Bagi anggota gerakan ini, sistem sendiri merupakan masalah yang tidak dapat diselesaikan. Karenanya, hanya ada satu solusi yakni dengan membersihkan atau menghilangkan sistem tersebut dan menggantinya dengan sistem baru yang dinilai lebih baik. 

Revolutionary movements merupakan salah satu gerakan yang ekstrim dari sosial movement. Mereka dapat menganjurkan revolusi secara terbuka. Upaya yang dilakukan seperti penggulingan rezim yang tengah ada dan menggantikan organisasi masyarakat secara keseluruhan (www.globalsociology.pbworks.com, diakses pada 04/05/2012).

Social Movement dapat menjadi suatu kekuatan dalam mengubah pola masyarakat. Aktor atau agent gerakan dalam kelompok sosial menjadi katalisator atau pioner penting untuk memiliki posisi strategis. Dalam gerakan sosial, aktor merupakan ujung tombak dari gerakan-gerakan yang dilakukan. Parson dan Shils menempatkan tindakan sebagai sebuah representasi dari interaksi para aktor. 




Fokus analisis tindakan tidak mengacu pada kecenderungan kebutuhan atau motif aktor, melainkan dari kacamata peran, tindakan sosial dan pengoperaian organ yang dijalankan oleh aktor. Menurut Smelser, terdapat empat komponen dasar dalam tindakan sosial, yakni :


  1. Tujuan atau nilai umum, yang merupakan suatu pedoman dalam mengarahkan perilaku sosial.
  2. Aturan-aturan yang teregulasi, yang ditemukan dalam norma, atau selain nilai. Hal ini lebih mengarahkan pada upaya pencapaian tujuan.
  3. Mobilisasi energi dari individu-individu demi mencapai tujuan dalam kerangka kerja normatif.
  4. Fasilitas situasional yang terjangkau, dimana hal ini dapat dimanfaatkan aktor sebagai alat. Fasilitas situasional ini meliputi pengetahuan mengenai lingkungan, prediksi konsekuensi tindakan, alat-alat yang ada dan keterampilan yang dimiliki (Putra dkk, 2006: 23-24).

Baca juga: Deskripsi dan Definisi Footlose Industry


Gerakan sosial juga dapat diartikan sebagai sebuah protes terhadap konsep-konsep yang dinilai negatif. Salah satu contohnya seperti protes yang dilakukan para pendukung sosialis terhadap kapitalisme. 

Perlawanan ini terjadi karena ketidakpuasan terhadap aktivitas monopoli dan eksploitasi buruh. Maka timbulah protes yang menyerukan bahwa konsep kapitalisme hanyalah bentuk lain dari perbudakan. Timbulah gerakan sosial yang dibarengi dengan aksi kolektif berupa tindakan protes buruh dalam menolak kapitalisme (Brooks, 2004: 44).


Aksi kolektif menurut Tarrow dapat berupa berbagai bentuk, baik terlembagakan atau tidak terlembagakan, ataupun dalam bentuk institusi-institusi. Gerakan sosial dapat dilakukan dalam batas legalitas masyarakat sosial dan bisa juga bergerak secara ilegal atau dalam bentuk kelompok ‘bawah tanah’ (underground group). 

Gerakan sosial dapat berubah menjadi organisasi mapan yang berkarakteristik birokratis. Namun, gerakan sosial berbeda dengan organisasi formal maupun kelompok kepentingan seperti asosiasi (Putra dkk, 2006: 2-3). 

Organisasi formal sangat menentukan keberlangsungan dan perkembangan gerakan sosial. Langkah, isi dan hasil dari perjuangan merupakan fase inti dari perkembangan gerakan sosial untuk mendapatkan kesempatan politik (Putra dkk, 2006: 16).

Gerakan sosial dapat berkembang meliputi berbagai aspek kehidupan masyrakat. Gerakan ini dapat disisipkan dalam aktivitas ekonomi, sosial, kebudayaan hingga politik (Ritzer, 2005: 753). 

Perkembangan gerakan sosial membawa gerakan sosial menjadi lebih berfokus untuk memanfaatkan aspek politik. Aspek ini dinilai menjadi alternatif paling tepat demi memperoleh tujuannya (Ritzer, 2005: 368).

Gerakan sosial dalam proses politik memiliki kesempatan untuk melakukan perubahan struktur politik. Prosesnya melalui pembentukan identitas bersama yang tersusun secara legal dan terlegitimasi. 

Perubahan struktur politik didalamnya mencakup banyak aspek. Diantaranya meliputi tradisi kebudayaan dan politik, rasa kebersamaan, ideologi, serta praktik hegemoni (www.idrc.org, diakses pada 04/05/2012).

Teori proses politik dalam gerakan sosial menekankan pada isu sosial makro yang memungkinkan tumbuhnya gerakan sosial. Menurut McAdam, ekonomi dan khususnya politik menjadi faktor utama yang berkepentingan dalam gerakan sosial. Lebih khusus, McAdam mengidentifikasikan proses politik dalam gerakan sosial pada tiga faktor yakni:


  1. Organizational strength (kekuatan organisasi): semakin terorganisasi suatu kelompok, semakin seragam pula anggotanya dalam membentuk gerakan sosial. Hal ini juga mempermudah mencapai tujuan.
  2. Cognitive liberation (kebebasan kognitif): semakin anggotanya meyakini bahwa mereka memiliki kesempatan besar untuk sukses, maka mereka akan merasa lebih bebas dan mudah dalam menjalankan pergerakan.
  3. Political opportunities (kesempatan politik): semakin besar tendensi politik dalam gerakan sosial, maka semakin besar kesempatan untuk mencapai tujuan gerakan sosial (www.globalsociology.pbworks.com, diakses pada 04/05/2012).

Bagi McAdam, ketersediaan dari ketiga faktor tersebut tergantung pada sistem politik secara keseluruhan. Teori proses politik ini menempatkan hubungan politik menjadi jauh lebih penting dibanding materi. 

Pengaruh politik dinilai sebagai sumber utama untuk kesuksesan gerakan sosial. Kesuksesan gerakan sosial ditandai dengan diterimanya tuntutan atau pemikiran mereka. Hukum dapat berubah seperti apa yang ada pada pandangan mereka. 

Ketika pergerakan sosial sukses, terkadang, mereka menjadi bagian dari sistem institusi politik itu sendiri (www.globalsociology.pbworks.com, diakses pada 04/05/2012).