Biografi BJ Habibie
BJ Habibie, sapaan terkenal beliau
ayah dari dua orang putra, bernama Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal
Habibie. Bacharuddin Jusuf Habibie, merupakan putra dari pasangan Alwi Abdul
Jalil Habibie dan R.A Tuti Marini Puspowardojo. Tepat pada tanggal 12 Mei 1962,
beliau menikah dengan Hasri Ainun Besari.
BJ Habibie merupakan lulusan teknik
mesin di Universitas Indonesia Bandung yang sekarang dikenal dengan nama
Institut Teknologi Bandung, pada tahun 1954. Habibie yang merupakan seorang
pekerja keras, lantas melanjutkan pendidikannya di Jerman. Di Jerman, beliau
memilih melanjutkan studi di Aachen, untuk mengambil jurusan teknik
penerbangan, dengan spesialisasi konstruksi pesawat terbang.
Pada tahun 1960, BJ Habibie
memperoleh gelar diplom ingenieur (disetarakan dengan pendidikan S2), kemudian beliau melanjutkan
pendidikan doktor ingenieur. Pada tahun 1965, BJ Habibie berhasil meraih gelar
doktor di Aachen, Jerman. Sebelum melanjutkan program doktor di Jerman, Habibie
menikahi teman masa SMA, yaitu Ibu Hasri Ainun Besari atau yang biasa dikenal
dengan nama ibu Ainun.
Setelah menikah, Habibie baru
melanjutkan pendidikan doktor di Jerman dan tinggal disana bersama dengan Ibu
Aniun. Ibu Ainun merupakan sosok yang sangat setia menemani Pak Habibie.
Sehingga pak Habibie dapat memperoleh indeks prestasi Summa Cumlaude untuk
pendidikan doktor.
Pendidikan tinggi yang diperoleh
oleh Habibie, tidak serta merta hanya usaha keras beliau, namun juga semangat
dari ibu kandung Habibie, agar anak-anaknya dapat meneruskan pendidikannya. Ibu
dari Habibie merupakan sosok yang gigih dalam bekerja. Beliau bekerja untuk
membiaya biaya hidup Habibie selama menempuh pendidikan di luar negeri.
Ibu Habibie atau Ny.R.A Tuti
Marini, rela melakukan perjalanan jauh dari Bandung ke Yogyakarta atau Bandung
ke Jakarta, dengan menaiki mobil seorang diri, pulang pergi. Hal tersebut
beliau lakukan hanya untuk menjual beberapa properti, seperti rumah di Jalan
Imam Bonjol, Bandung. Perjuangan dari seorang ibunya lah, yang mendorong
Habibie harus lulus ujian selama menempuh pendidikan di Jerman.
Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia
di Aachen pernah disandang oleh BJ Habibie, karena kelebihan yang dimiliki.
Sebagai seorang mahasiswa yang cerdas, beliau bukan hanya tertarik pada hal-hal
yang berkaitan dengan mata pelajaran, melainkan juga masalah-masalah politik
yang ada di tanah air. Beliau selalu mengatakan ingin berbuat sesuatu yang
berharga untuk negara dan bangsanya.
Tahun 1958, BJ Habibie menggagas
suatu seminar pembangunan bagi seluruh mahasiswa yang sedang belajar di Eropa.
Dukungan diperoleh Habibie dari kongres PPI Jerman dan disetujui untuk
dilaksanakan oleh PPI Eropa. Kemudian untuk melancarkan aksi tersebut, maka
dibentuklah Panitia Persiapan Seminar pembangunan (PPSP).
Sayangnya, ketika BJ Habibie sedang
semangat-semangatnya untuk mengadakan seminar pembangunan mahasiswa PPI, beliau
diserang penyakit. Penyakit tersebut semacam influensa yang virusnya menembus
ke jantung Habibie. Hal tersebut disebabkan kesibukan Habibie dalam menyiapkan
seminar pembangunan, hingga membuat dirinya lupa untuk makan dan tidak ada yang
memperhatikan kesehatannya.
Ketika
sakit, dalam pembaringannya, Habibie membuat sebuah saja, pada saat beliau
sedang merenung.
Sumpahku!!!
“terlentang!!!
Djatuh!
Perih! Kesal!
Ibu
pertiwi
Engkau
pegangan
Dalam
perdjalanan
Djanji
pusaka dan sakti
Tanah
tumpah darahku
Makmur
dan sutji
......
.....
....
Hantjur
badan
Tetap
berdjalan
Djiwa
besar dan sutji
Membawa
aku, .....padamu!!!”
Selama di Jerman bersama dengan Ibu
Ainun, Habibie tak lepas dari pernah mengalami masa-masa sulit dalam
kehidupannya. Dengan gaji yang pas-pasan, beliau harus mengatur keuangan
sedemikian rupa, agar cukup untuk biaya hidup berdua, selama di sana. Bahkan
Habibie rela berjalan sejauh 15 KM kala kartu langganan bulanan untuk bis nya
sudah habis.
Tahun 1965 BJ Habibie memperoleh
perkerjaan di Jerman dan meraih gelar Dr.Ing. selama di Hamburg, Bu Ainun
membantu pak Habibie untuk menghidupi keluarga dengan bekerja sebagai dokter.
Namun pekerjaan tersebut tidak lama disandang oleh Bu Ainun, setelah menyadari
bahwa putra kedua ibu Ainun sakit keras.
Perasaan bersalah muncul dalam diri
Bu Ainun karena merasa meninggalkan anak-anaknya. Kemudian beliau memutuskan
untuk mengutamakan anak dan keluarga dari pada mencari kepuasa profesional dan
penghasilan tinggi. Semanagt juang yang pantang menyerah dari BJ Habibie dan
jiwa keibuan dari Bu Ainun patut dijadikan pelajaran yang berharga bagi seorang
yang ingin meniti karir.
DAFTAR PUSTAKA
Makka, A.M. 2008. The True Life of Habibie: Cerita
di Balik Kesuksesan. Bandung: Pustaka IIMaN.