Hukum Perikatan atau Perjanjian

Perjanjian atau perikatan adalah suatu hal yang bisa dibilang sangat akrab pada kehidupan masyarakat. Tak sedikit masyarakat yang sering kali melakukan suatu kesepakatan yang pada akhirnya bisa menghasilkan suatu perikatan. Namun, tentu saja tidak semua kesepakatan yang dibuat bisa disebut dengan suatu perikatan.

Ada syarat syarat terjadinya perikatan yang harus dipenuhi sehingga perikatan yang dibuat sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Aturan hukum mengenai perikatan di Indonesia tertuang dalam buku III KUH Perdata, dimana di dalamnya tertulis mengenai azas kebebasan berkontrak. 


Asas Apa Saja yang Ada dalam Perikatan

Azas kebebasan berkontrak sesuai dalam buku III KUH Perdata artinya bahwa setiap orang bebas untuk membuat atau mengadakan perjanjian apapun, asalkan hal tersebut tidak bertentangan dengan undang - undang, kesusilaan, dan juga ketertiban umum.

Karena isi dari perjanjian tersebut dapat dibuat oleh para pihak yang bersepakat, karenanya pasal pasal yang ada dalam hukum perjanjian pada buku III KUH Perdata hanyalah merupakan hukum pelengkap saja.

Hal ini berarti pasal-pasal tersebut boleh dikesampingkan bila memang dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian. Bahkan, para pihak ini pun boleh membuat ketentuan- ketentuan tersendiri yang mereka sepakati.

Karenanya, buku III KUH Perdata dapat dikatakan menganut sistem terbuka. Hal ini juga dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Selain itu, di dalam buku III KUH Perdata juga dikenal azas konsesualitas. 

Azas konsesualitas artinya bahwa perjanjian tersebut dianggap telah mengikat sejak tercapainya kata sepakat di antara para pihak yang mengadakannya. Azas ini dapat disimpulkan dari bunyi pasal 1320 KUH Perdata yang isinya tentang syarat sahnya suatu perjanjian.




Pengertian Perikatan dalam Ilmu Hukum

Pengertian perikatan di dalam ilmu hukum merupakan suatu bentuk hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih. Dalam hal ini pihak yang satu berhak atau memiliki hak (kreditur) dan pihak lainnya berkewajiban (debutur) atas suatu prestasi.


Suatu hubungan dapat dikatakan sebagai perikatan atau bukan, harus berdasarkan apda syarat syarat terjadinya perikatan. Suatu perikatan haruslah memenuhi beberapa beberapa syarat terjadinya perikatan yakni, sebagai berikut :

a. Adanya hubungan hukum
Hubungan hukum dalam hal ini yakni hubungan yang diatur dan dijamin oleh hukum. Dengan adanya hubungan hukum ini, maka dapat membuat melekatnya hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lainnya. Dengan demikian, apabila satu pihak tidak mengindahkan atau melanggar hubungan yang telah disepakati tadi, maka hukum dapat memaksakan agar hubungan tersebut dipenuhi atau dipulihkan kembali.

b. Terjadi dalam lapangan harta benda ( kekayaan )
Untuk menilai dan menentukan apakah suatu hubungan hukum itu merupakan suatu perikatan ataukah bukan, maka hukum mempunyai ukuran - ukuran (kriteria) tertentu. Ukuran tersebut adalah bahwa hubungan hukum itu harus terjadi di dalam lapangan harta benda.


Terjadi dalam lapangan harta benda dapat diartikan sebagai hubungan hukum tersebut dapat dinilai dengan uang. Namun, apabila masyarakat atau rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan tersebut diberi akibat hukum, maka hukum juga dapat melekatkan akibat hukum dalam hubungan tadi.

Baca juga: Pengertian dan Jenis Jenis Cyber Crime

c. Adanya dua pihak, yaitu kreditur dan debitur
Setiap terjadinya perikatan, maka akan selalu terdapat dua pihak, yaitu pihak yang yang berkewajiban yang disebut dengan “debitur“ dan pihak yang berhak yang disebut “kreditur”. Dua pihak ini pula yang disebut sebagai subyek perikatan. 

Seorang debitur harus selamanya diketahui. Sebab, seseorang tidak akan dapat menagih dari seseorang yang tidak dikenalnya. Sedangkan hal ini lain dengan kreditur. Kreditur dapat diganti secara sepihak tanpa bantuan atau pun sepengatahuan dari debitur.

Misalnya saja pada kasus cessie. Cessie artinya memindahkan piutang kepada seseorang yang telah membeli piutang tersebut. Agar lebih jelas, dapat dilihat dari permisalan, ketika Nanik membeli mobil dari Bagas, dan kebetulan mobil tersebut diasuransikan. 

Dengan terjadinya peralihan hak mobil itu kepada Nanik, maka sekaligus di saat yang sama, Nanik juga mengambil alih hak asuransi mobil Bagas tersebut. Jadi, dalam hal ini Nanik menggantikan kedudukan Bagas sebagai kreditur.

Kepada debitur, ada dua unsur yaitu schuld dan hoftung. Schuld yaitu kewajiban debitur untuk membayar utang kepada kreditur. Sedangkan haftung yakni setiap harta benda debitur yang dipertanggung jawabkan bagi pelunasan utang debitur.

Sebagai contoh, Lina punyai hutang Rp 100.000 kepada Dita. Tapi, karena Lina tidak sanggup membayar hutangnya maka harta benda Lina pun dapat dilelang.

d. Adanya prestasi
Sesuai dengan pasal 1234 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan atau untuk tidak berbuat sesuatu. Hal ini dapat diartikan sebagai :


  1. memberikan sesuatu, maka prestasinya berupa menyerahkan barang tertentu. Misalnya bila seorang penjual berkewajiban menyerahkan barang yang telah dibeli oleh pelanggan dengan jaminan yang dapat dipertanggung jawabkan.
  2. berbuat sesuatu, contohnya ketika perusahaan X berjanji kepada ketua kampung untuk tidak jadi mendirikan pabrik di sekitar area kampung tersebut.


Jika menurut pasal pasal 1338 KUH Perdata, maka semua perjanjian yang dibuat secara sah dapat berlaku sebagai undang - undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini artinya bahwa semua perjanjian yang dibuat menurut hukum atau secara sah, adalah bersifat mengikat bagi mereka yang mengadakannya.

Sedangkan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.

Biasanya, bentuk dari perjanjian itu bebas. Artinya, boleh diadakan dengan lisan atau pun tulisan. Namun, untuk keperluan suatu pembuktian, maka orang cenderung lebih suka membuat atau mengadakan perjanjian secara tertulis. Bahkan, ada keharusan juga suatu perikatan tersebut dibuat dengan akte otentik, yakni perjanjian yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang, semisal Notaris.