Kebijakan Anti Dumping WTO dan Contoh Sengketa Dumping Indonesia

image source: michaelczinkota.com

Organisasi perdagangan dunia atau WTO tengah berusaha menciptakan iklim liberalisasi perdagangan internasional yang kondusif. Salah satu upaya dalam perwujudan free trade dan fair trade ini adalah dengan pencegahan praktek dumping. WTO telah memiliki Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement atau Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994) yang didalamnya terdapat ketentuan mengenai tarif yang diikat (binding tariff) dan pemberlakuannya secara sama kepada semua mitra dagang anggota WTO.

Dumping adalah istilah yang digunakan untuk menyebut praktik dagang yang dilakukan eksportir  dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar ini atau umumnya lebih rendah dari harga di pasar domestik di dalam negerinya sendiri. Praktek dumping ini umumnya dinilai tidak adil. Pemberlakuan price dumping dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimport .Dengan adanya banjir barang dari pengekspor dengan harga jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing. Pada akhirnya hal ini akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, serta berdampak pada pemutusan hubungan kerja massal, pengganguran dan bangkrut nya industri barang sejenis dalam negeri.

Menurut pengamat perdagangan internasional, Robert Willig, ada 5 tipe dumping yang dilihat dari tujuan eksportir, kekuatan pasar dan struktur pasar import, antara lain : Market Expansion Dumping, Cyclical Dumping, State Trading Dumping, Strategic Dumping, dan Predatory Dumping.

Contoh Sengketa Dumping Indonesia

Dalam melakukan kerjasama perdagangan internasional, Indonesia pernah mengalami tuduhan praktek dumping pada produk kertas yang diekspor ke Korea Selatan. Kasus ini bermula ketika industri kertas Korea Selatan mengajukan petisi anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission (KTC) pada 30 September 2002. Korea Selatan mengajukan tuduhannya terhadap PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT. Pindo Deli Pulp & Mills, PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk dan April Pine Paper Trading Pte Ltd. Dengan produk kertasnya mencakup 16 jenis produk yang tergolong dalam kelompok uncoated paper and paper board used for writing, printing, or other graphic purpose serta carbon paper, self copy paper and other copying atau transfer paper.

Pada 9 Mei 2003 Korea Selatan melalui KTC memberlakukan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61 persen, PT Pindo Deli 11,65 persen, PT Indah Kiat 0,52 persen, April Pine dan lainnya sebesar 2,80 persen.

Kemudian Pada 7 November 2003, KPC menurunkan BMAD untuk PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat masing-masing sebesar 8,22 persen, serta untuk April Pine dan lainnya 2,8 persen.

Sebagai upaya penyelesaiannya, pada 4 Juli 2004, Indonesia dan Korea Selatan mengadakan konsultasi bilateral, akan tetapi tidak mencapai kesepakatan. Selanjutnya, pada 27 September 2004, Disputes Settlement Body WTO membentuk Panel. Pihak yang berpartisipasi diantaranya Amerika Serikat, Eropa, Jepang, China dan Kanada. Panel menolak permohonan Indonesia agar Panel membatalkan tindakan anti-dumping yang dilakukan oleh Korea Selatan. Panel DSB menilai Korsel telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktik dumping kertas dari Indonesia.

Sidang panel yang diselenggarakan tiga kali selama tahun 2005 tersebut menghasilkan panel report bahwa KTC telah melanggar ketentuan WTO dalam hal penentuan margin dumping bagi beberapa perusahaan Indonesia. Selain itu, Korea Selatan juga telah melanggar ketentuan WTO dengan menolak data dari dua perusahaan kertas Indonesia. Dalam hal ini, Panel hanya memeriksa kasus hukum ekonomi berdasarkan klaim utama yang diajukan oleh Indonesia.

Pada tanggal 28 Oktober 2005, DSB WTO menyampaikan Panel Report ke seluruh anggota dan menyatakan bahwa tindakan anti-dumping Korea Selatan tidak konsisten dan telah menyalahi ketentuan Persetujuan Anti-Dumping. Kedua belah pihak yang bersengketa pada akhirnya mencapai kesepakatan bahwa Korea harus mengimplementasikan rekomendasi DSB dan menentukan jadwal waktu bagi pelaksanaan rekomendasi DSB tersebut (reasonable period of time /RPT).

Dalam kasus ini, Indonesia pada akhirnya berhasil memenangkan sengketa anti-dumping yang terjadi dengan Korea Selatan ini. Indonesia telah menggunakan haknya dan kemanfaatan dari mekanisme dan prinsip-prinsip multilateralisme sistem perdagangan WTO terutama prinsip transparansi.