Teori Pembangunan Negara di Kawasan Asia Timur- Developmental State

Teori developmental state atau teori pembangunan negara merupakan teori yang membahas relasi antara negara terhadap kegiatan pembangunan di negaranya. Teori ini menempatkan aktivitas pembangunan sebagai prioritas utama negara. Selain itu, negara ditempatkan sebagai aktor utama dalam mendorong pembangunan tersebut. Teori ini muncul dari gagasan state-led development. Dalam artian teori ini menuntut adanya good governance. Negara harus memiliki kemampuan untuk mengontrol wilayahnya dan sumber daya utamanya, serta harus terdapat pencapaian tertentu[1].

Kemunculan teori ini awalnya dipicu oleh perubahan ekonomi yang signifikan terutama pada negara-negara berkembang di Asia Timur tahun 1970an. Negara-negara ini muncul dengan industri-industri berteknologi tinggi yang mulai bersaing dengan industri di negara-negara maju. Sementara itu, kondisi di negara-negara ini menunjukkan intervensi yang besar dari negara dalam hal ekonomi. Hal yang menarik disini adalah adanya pertentangan fenomena di Asia Timur ini dengan pandangan Keynesian yang saat itu tengah populer. Keynesian yang mengambil ide utamanya dari teori liberal percaya bahwa campur tangan negara yang terlalu besar dalam hal ekonomi justru akan mengacaukan pasar[2].

Perkembangan teori ini dimulai pada akhir 1980an hingga awal 1990an. Dikatakan Robert Gilpin, teori ini muncul untuk menantang teori neoliberal orthodox dalam menjelaskan kesuksesan dan percepatan industrialisasi di Asia Timur. Industraliasi awalnya merupakan pandangan dari neoliberalisme atas kesuksesan ekonomi dari negara-negara yang disebut Newly Industrializing Economies (NIEs). Dalam pandangan neoliberal, NIEs berusaha menyesuaikan diri dengan pasar sebagai bentuk strategi pengembangan ekonomi. Pasar dipandang lebih mampu dibanding kebijakan negara dalam menentukan kesuksesan ekonomi suatu negara. Pandangan neoliberal ini pun mendapat dukungan dari Washington Consensus[3].

Untuk mengembangkan ekonominya, pandangan neoliberal mulai diadopsi oleh pemerintah negara-negara di Asia Timur. Mereka membuka ekonominya terhadap dunia, mengurangi peran negara pada perekonomian untuk membiarkan pasar berfungsi dengan baik, serta mengejar strategi pertumbuhan yang berorientasi ekspor. Hasilnya, pemerintahan di negara-negara ini pun sukses dalam industrialisasi. Namun, hal ini dianggap oleh para pemikir developmental state berbeda dengan konsep neoliberal. Negara dianggap memiliki peran yang krusial dalam kebijakan perindustrian, yang mana proses pengembangan ekonominya dianggap masih berlangsung[4].

Untuk memahami kondisi ini, Chalmers Johnson memulai studinya tentang pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur pada tahun 1982, khususnya pada Jepang. Johnson melihat adanya pertumbuhan ekonomi yang cepat di kawasan ini. Johnson mengungkapkan kondisi pembangunan negara di Asia timur merefleksikan state centric. Artinya bahwa negara menjadi pemegang peran kunci dalam kesuksesan pembangunan negara. Tidak seperti kondisi di negara-negara maju yang menyerahkan pembangunannya kepada pasar. Pada model ini, kekuasaan negara terhadap pasar menjadi sangat terbatas. Negara terbatas untuk mengatur pergerakan pasar termasuk menjadi katalisator dan mengkoreksi keadaan pasar. Konsep state centric yang diungkapkan oleh Chalmers Johnson inilah yang kemudian populer dan menjadi rujukan dari berbagai ide developmental state[5]. 

Konsep yang dijelaskan dalam developmental state theory berusaha untuk mengubah pandangan market led model atau pengarahan pasar. Konsep market led model yang populer pada masa itu diperankan oleh World Bank dan IMF (International Monetary Fund). IMF dan World Bank menjadi dua institusi utama yang mampu membimbing pasar di negara-negara berkembang. Kekuasaan dua institusi ini membuat negara-negara berkembang harus mengadopsi market-friendly program of development. Program ini mengarahkan negara-negara berkembang untuk meliberalisasikan perekonomian negara sesuai arahan World Bank dan IMF[6].

Sementara teori developmental state mendefinisikan hal lain pada konsep pengarahan pasar. Teori ini menempatkan negara sebagai pengarah utama dari pembangunan ekonomi di negaranya. Karenanya konsep ini juga dikenal sebagai state led development. Prinsip utama dari state led development yang diungkapkan oleh Chalmers Johnson adalah:

  1. Pembangunan ekonomi (meliputi pertumbuhan, produktivitas dan kompetisi) merupakan prioritas utama negara. 
  2. Developmental state bukanlah negara sosialis sehingga terdapat komitmen pada pasar dan kepemilikan individu. Meski demikian, pasar dikontrol pemerintah melalui formulasi kebijakan strategis industrialisasi yang untuk mempromosikan pembangunan yang tetap dalam konsep kenyamanan pasar.
  3. Birokrasi negara menjadi pemandu utama yang memainkan peran penting dalam memformulasikan kebijakan strategis dan implementasinya[7].

Teori ini juga menjelaskan tentang strategi pembangunan negara yang menitikberatkan pada industrialisasi yang berorientasi ekspor. Misalnya seperti industri manufaktur berteknologi tinggi yang dinilai mampu berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi negara[8].

Sementara itu, Linda Weiss (1995) mengungkapkan bahwa dalam pembangunan negara juga terdapat interdependensi antara negara dan pasar. Weiss menyebutnya sebagai governed interdependence theory. Dalam interdependensi ini berarti diperlukan adanya hubungan baik antara pemerintahan dan industri. Interdependensi ini dapat diwujudkan dari sistem koordinasi dan kerjasama yang berkontribusi terhadap kesuksesan ekonomi[9].

Baca juga: Dunia dalam Teori Benturan Peradaban

Peran negara menjadi sangat penting dalam memaksimalkan investasi sekaligus mendorong masyarakatnya untuk mengambil manfaat dari investasi dan pembangunan serta segala sumber daya yang disediakan negara. Negara dianggap sah untuk menggunakan cara represif demi mencapai tujuan atau kepentingan nasionalnya. Peran negara sebagai aktor utama pembangunan tidak lantas membuat negara mengambil seluruh peran penting pada aktivitas ekonomi. Teori pembangunan melihat bahwa pasar dan private property sebagai hal yang juga penting disamping negara. Sementara peran negara lebih kepada mengarahkan pasar, mengawasi alur investasi, membatasi impor, mengganti struktur masyarakat, menyebarkan perubahan teknologi, dan menentukan industri yang ingin dikembangkan[10].

Perkembangan dari teori pembangunan negara menekankan pada pentingnya kekuatan infrasturktur dan komitmen politik. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Ghani (2005) bahwa proses pembangunan negara setidaknya harus memiliki dua atribut utama. Yang pertama negara harus memiliki kapasitas yang cukup untuk mengontrol kekuasaannya dan memiliki kapasitas cukup untuk mendesain dan menerjemahkannya ke dalam kebijakan. Yang kedua, negara harus memiliki strategi yang mampu mencapai tujuan dan memiliki institusional, serta perspektif politik yang spesifik[11].

Sementara Leftwich menekankan pada kemampuan negara. Argumennya bahwa pembangunan negara yang ideal menunjukkan kemampuan negara dalam menstimulasi, membentuk, berhubungan langsung serta bekerjasama dengan sektor privat domestik untuk menyusun kerangka yang menguntungkan dalam kepentingannya dengan pihak asing[12].

Teori pembangunan negara terus mengalami perkembangan. Banyak peneliti yang menguatkan teori tentang developmental state. Seorang peneliti bernama Balassa menyimpulkan beberapa poin penting dari model pembangunan yang Ia pelajari dari kawasan Asia Timur. Poin tersebut merupakan bentuk dari kontribusi pemerintah terhadap pembangunan negara model developmental state, yang meliputi:

  1. Pembangunan terhadap infrastruktur modern
  2. Menyediakan sistem yang stabil sebagai rangsangan dan dorongan ekonomi
  3. Membentuk birokrasi yang mampu mendorong ekspor[13]

Developmental state secara umum dapat dilihat dari karakteristiknya yang terkait dengan adanya otonomi yang dimiliki negara. Karakteristik pertama adalah pada otonominya terhadap berbagai ancaman dan tekanan sosial. Artinya, birokrasi ekonomi yang dimilikinya dapat memikirkan suatu kebijakan ekonomi jangka panjang tanpa intervensi dari kepentingan privat. Sedangkan karakteristik yang kedua dilihat dari kemampuannya dalam mengimplementasikan kebijakan ekonominya dengan efektif. Dalam artian, negara leluasa menempuh berbagai langkah untuk mengontrol kegiatan domestik dan asing.

Teori developmental state memiliki tiga area utama dalam menjelaskan liberalisasi dan internasionalisasi. (1) deregulasi harga, (2) melonggarkan pembatasan dari pergerakan modal, (3) pembukaan pasar terhadap para pesaing baru dan jangkauan yang lebih luas terhadap aktivitas finansial[14] .

Robert Gilpin dalam bukunya Global Political Economy juga mengulas secara mendalam mengenai teori developmental state. Gilpin meyakini bahwa kunci kesuksesan dari pembangunan negara terletak pada pemerintahan, bank lokal, dan industri. Lebih lanjut, Gilpin mendukung pendapat Paul Krugman bahwa kesuksesan tersebut bergantung pada kemampuan pemerintah dengan segala perangkat kebijakannya dalam mendorong laju pertumbuhan di level produksi yakni modal dan buruh yang merupakan faktor produksi dasar[15].

Dalam hal ini, Gilpin mengungkapkan bahwa peran pemerintah dalam developmental state lebih kepada memanipulasi sistem. Sistem yang dimaksud adalah yang mampu menjawab keraguan para investor agar mampu menarik investasi sebesar-besarnya di sektor industri. Hal ini dilakukan dengan cara meyakinkan dengan berbagai jaminan kepada para investor bahwa investasi mereka akan minim atau bahkan tanpa resiko[16]. 

Gilpin juga menyampaikan hasil simpulan tentang teori developmental state yang mengarah pada sentiment negatif terhadap teori ini. Yakni:

  1. Kebijakan industri yang bertujuan untuk mempromosikan dan menentukan posisi struktur ekonomi mampu mempercepat pembangunan dan meningkatkan produksi. Namun demikian, pembangunan ini gagal untuk menjelaskan pertumbuhan di tingkat daerah. Sementara intervensi pemerintah tidak cukup mampu menjelaskan pertumbuhan ekonomi.
  2. Tanpa intervensi di sektor publik, pasar cukup mampu dengan sendirinya untuk mengubah struktur industri daripada harus didorong oleh pemerintah.
  3. Kontrol pemerintah dalam sektor finansial justru akan menimbulkan krisis finansial[17].

Untuk menentukan suatu negara merupakan developmental state dapat dilihat dari karakteristik khusus yang dimilikinya. Fritz dan Menocal memiliki pandangan tersendiri mengenai karakteristik dari developmental state, yang dijabarkannya dalam beberapa aspek meliputi:

  1. Aspek utama: menekankan pada kapasitas negara dan otonominya
  2. Rezim politik: tidak memiliki komitmen normatif apapun terhadap berbagai rezim politik.
  3. Legitimasi negara: diperoleh dari prestasi dan performa negara.
  4. Arah politik: mengutamakan kepentingan nasional, dan mengutamakan komitmen kepemimpinan.
  5. Peran negara: aktif dalam membantu perkembangan ekonomi, tapi menghindari kepentingan grup tertentu[18].

Sedangkan berdasar rangkuman Laura Routley dari beberapa pemikir developmental state, karakteristik developmental state meliputi adanya:

  1. Sebuah birokrasi yang cakap, otonom namun tetap terintegrasi (Evans, 1995).
  2. Kepemimpinan politik yang berorientasi ke arah pembangunan (Musamba, 2010). 
  3. Hubungan antar negara yang bersifat erat dan saling menguntungkan yang sering mengarah pada kerjasama industri yang bersifat kapitalis (Johnson 1982; 1987). 
  4. Kesuksesan intervensi kebijakan untuk mempromosikan pertumbuhan (Wade, 1990; Beeson, 2004)[19].

Dalam perkembangannya, teori yang awalnya ditujukan untuk menjelaskan kondisi model pembangunan Asia Timur ini juga digunakan untuk menjelaskan kondisi model pembangunan di wilayah lain termasuk Asia Selatan seperti India. Pada saat yang hampir bersamaan dengan pertumbuhan di Asia Timur, Asia Selatan menyusul dengan kondisi ekonomi yang juga bertumbuh. Menurut Chang (2006), Hayashi (2010), Jomo (2004), Doner, Ritchie dan Slater (2005), negara –negara di Asia Selatan juga memiliki karakteristik yang serupa dengan negara-negara Asia Timur. Hal ini dapat dilihat dari ciri-cirinya seperti:

  1. Pertumbuhan ekonomi yang dipengaruhi FDI
  2. Rentang pertumbuhan ekonomi yang tinggi
  3. Birokrasi terstruktur (meski tidak sekuat negara-negara Asia Timur)[20].

Hanya saja, penggolongan negara-negara di Asia Selatan yang termasuk ke dalam developmental state sampai saat ini masih diperdebatkan. Para pakar lebih mengakui bahwa teori ini hanya tepat untuk menggambarkan kondisi negara-negara di Asia Timur yang berawal dari otoritas negara dalam membangun ekonominya dan bukan seperti negara di Asia Selatan seperti India yang menggunakan sistem demokratis.


[1] V. Fritz and A. Rocha Menocal. 2006. (Re)building Developmental States: From Theory to Practice. London: Overseas Development Institute

[2] Thomson, Grahame. 1998. Economic Dynamism in The Asia Pasific: The Growth of Integration and Competitiveness. London: Routledge.
[3] Gilpin, Robert. 2001. Global Political Economy: Understanding the International Economic Order. New Jersey: Picenton University Press.
[4] Gilpin, Robert. 2001. Global Political Economy: Understanding the International Economic Order. New Jersey: Picenton University Press.
[5] Thomson, Grahame. 1998. Economic Dynamism in The Asia Pasific: The Growth of Integration and Competitiveness. London: Routledge.
[6] Thomson, Grahame. 1998. Economic Dynamism in The Asia Pasific: The Growth of Integration and Competitiveness. London: Routledge.
[7] Thomson, Grahame. 1998. Economic Dynamism in The Asia Pasific: The Growth of Integration and Competitiveness. London: Routledge.
[8] Thomson, Grahame. 1998. Economic Dynamism in The Asia Pasific: The Growth of Integration and Competitiveness. London: Routledge.
[9] Thomson, Grahame. 1998. Economic Dynamism in The Asia Pasific: The Growth of Integration and Competitiveness. London: Routledge.
[10] V. Fritz and A. Rocha Menocal. 2006. (Re)building Developmental States: From Theory to Practice. London: Overseas Development Institute.
[11] Menocal, Rocha. 2006. Rebuilding Development State: from Theory to Practice. London: Overseas Development Institute.
[12] Menocal, Rocha. 2006. Rebuilding Development State: from Theory to Practice. London: Overseas Development Institute.
[13] Thomson, Grahame. 1998. Economic Dynamism in The Asia Pasific: The Growth of Integration and Competitiveness. London: Routledge.
[14] Huang, Chung-Hsien. 2002. Space of Flows, Politics of Place: The Embattled Developmental State in Taiwan, 1980s and 1990s. Taichung, Taiwan: Tunghai University, 
[15] Gilpin, Robert. 2001. Global Political Economy: Understanding the International Economic Order. New Jersey: Picenton University Press
[16] Gilpin, Robert. 2001. Global Political Economy: Understanding the International Economic Order. New Jersey: Picenton University Press
[17] Gilpin, Robert. 2001. Global Political Economy: Understanding the International Economic Order. New Jersey: Picenton University Press
[18] V. Fritz and A. Rocha Menocal. 2006. (Re)building Developmental States: From Theory to Practice. London: Overseas Development Institute
[19] Routley, Laura. 2012. Developmental State: A Review of the Literature. Manchester: ESID.
[20] Routley, Laura. 2012. Developmental State: A Review of the Literature. Manchester: ESID.